Rabu, 31 Juli 2013

Episode 3 _Hanya Sendiri_

Berdiri sendiri,
Jauh dari kasih sayang,
Dan segala pengorbanan ini membuat aku tumbuh menjadi sosok yang kuat

Episode 3
Hanya Sendiri
Hari pertama datang ke pesantren, tak ada sesuatu yang aku pikirkan selain apa yang akan terjadi padaku selanjutnya. Kedatanganku disambut dua orang berdasi, lengkap dengan jas berwarna hijau dan sepatu kulit.
Sambil bercerita tentang pesantren dia mengajak aku beserta kedua orang tuaku mengelilingi seisi pesantren. Pertama ia mengajakku ke sebuah masjid yang lumayan luas besarnya, ini adalah masjid yang digunakan untuk shalat dan banyak kegiatan untuk seluruh penghuni pesantren ini. Masjid ini sangat sederhana, hanya dinding bercat putih dan hijau dan beratap genteng. Jika memasuki masjid tersebut maka kita akan segera melihat ruangan yang sangat luas seperti lapangan futsal. Tak ada satupun tiang penyangga yang terlihat di dalam masjid. Tiang penyangga lebih banyak terlihat di beranda sekeliling masjid. Atap  di dalam masjid berbentuk kerucut dan sangatlah tinggi dan jauh sekali dari lantai. Di tengah – tengahnya bergantung sebuah lampu berukuran besar sedangkan lampu – lampu lain yang lebih kecil mengelilinginya. Depannya terbagi atas 4 ruang. Ruang pertama digunakan sebagai koperasi pesantren dengan pintu di luar. Ruang kedua menyatu dengan ruang utama masjid dan digunakan sebagai tempat imam shalat dan mimbar untuk khatib jum’at. Sebelah kiri mimbar terdapat ruangan ketiga yang digunakan sebagai mihrab yang diisi dengan peralatan – peralatan masjid. Terakhir ruangan sebelah kanan depan masjid yang digunakan untuk ustadz.
Perkenalan dilanjutkan ke arah barat pesantren. Dua orang berdasi tadi memandu kami melewati sebelah depan masjid. Maka terlihatlah jelas sebuah birkah[1] seluas ruangan masjid tadi. Salah seorang berdasi bilang itu kolam ikan yang di isi ikan – ikan jenis Lele. Di kampung sini memang bermayoritas peternak ikan Lele. Sesampainya di pinggir birkah kami harus menyebrangi jembatan kecil yang menghubungkan jalan masjid menuju asrama.
Asrama untuk santri baru lumayan besar. Tidak tingkat tapi panjang. Bermuatan sampai enam kamar. Aku beserta keluarga melihat – lihat seisi asrama itu. Lima kamar disediakan untuk santri baru dan satu kamar untuk ustadz bagian ri’ayah[2].
Selesai melihat – lihat aku di ajak menuju kamar satu. Kamar berbentuk persegi panjang itu sudah terisi banyak santri – santri baru lain beserta keluarganya yang masih merapihkan barang – barang mereka masing – masing. Belum ada kasur atau lemari saat itu. Kami hanya disediakan sebuah karpet panjang bermotif sajadah yang biasanya digunakan shalat di masjid – masjid. Semua santri baru di kamar itu sudah hampir mengelilingi kamar itu untuk mendapati tempat mereka yang masih dialasi karpet karena tengah – tengah kamar itu tidak dialasi karpet. Beruntung aku masih mendapatkan sedikit celah di pojok kiri kamar. Sesampai disana dua lelaki tadi pamit untuk kembali ke tempat mereka bertugas. Orang tuaku mengucapkan ucapan terima kasih kepada mereka yang telah membantu kami sampai menemukan kamar untuk ditempati.
Aku menaruh seluruh barang – barang milikku selama di pesantren sedangkan orang tuaku asik berbincang dengan seorang ibu disebelahku. Dia pasti orang tua dari santri baru yang lain. Tapi setelah ibuku memperkenalkannya padaku aku baru tahu ternyata dia adalah tanteku dari bapak. Dan anaknya menjadi santri baru juga disini sama sepertiku. Aku yang masih takut karena merasa sendirian di pesantren tanpa mengenali seorangpun yang bisa kupinta untuk menemani merasa sangat senang setelah mengetahui ada satu orang yang memiliki ikatan denganku meskipun aku belum dekat dengannya.
****
  Waktu menjelang magrib. Matahari sudah mulai menuju ke belahan bumi Allah yang lain. Aku bersiap menuju masjid untuk menunaikan shalat magrib berjama’ah. Tiba – tiba orang tuaku pamit untuk kembali ke rumah. Aku baru sadar kalau mereka tidak akan segera kembali dan mulai meninggalkanku sendiri di pesantren ini. Aku merasa berat untuk menerima hal itu tapi aku harus siap karena ini adalah kenyataan yang harus aku jalani.
Tanganku sangat berat untuk melepas genggaman tanganku dari tangan ibuku. Ku genggam dengan sangat erat seperti enggan melepasnya selamanya. Mataku memerah. Ibuku sadar aku sedang merasa ketakutan hingga dia menarik tanganku dan memelukku. Aku merasakan kehangatan yang beda dari pelukan ini. Mungkin karena setelah ini aku akan jauh dari tubuh ini. Pelukan ini, aku ingin selamanya begini. Ibu, taukah kamu akan apa yang ada di hatiku. Tapi hidup ini terlalu keras jika aku berlaku manja seperti ini. Aku yakin aku pasti akan merasakan rindu yang sangat dengan kehangatan ini. Tapi aku harus bisa. Aku harus kuat. Kembali ku menata hatiku. Kulepas pelukan kasih sayang darinya. Dengan lirih dan aliran air mata ku mendengar ibuku mengatakan sesuatu “Mama harus pulang, jaga diri kamu baik – baik ya nak. Mama sayang kamu”.
****
  Usai shalat magrib berjama’ah semua santri bergegas mengambil qur’an milik mereka dan menuju tempat yang biasa mereka tempati. Sekejap seluruh masjid dipenuhi dengan alunan – alunan kalam ilahi yang disenandungkan dengan merdu oleh para santri. Semua berpakaian rapih lengkap dengan sarung dan kopiah. Anehnya semua yang ada di masjid tidak ada yang mengeluarkan baju mereka walaupun itu adalah pakaian koko. Mungkin itu adalah aturan disini pikirku.
Aku beserta santri baru yang lain masih kebingungan dengan kegiatan apa yang akan dilakukan. Menurut jadwal, test untuk santri baru akan dilaksanakan setelah isya bertempat di masjid ini. Tidak tahu siapa yang menguji dan apa yang akan diuji aku hanya bisa terdiam sendirian di pintu masjid. Tidak ada yang kulakukan selain diam sambil memandangi semua orang.
Perasaan takut yang menyelimutiku membuat raga ini tidak bisa melakukan apa – apa. Semua yang terpandang mata menjadi sesuatu yang seram untukku. Aku seperti sedang dalam sebuah tempat yang dipenuhi dengan monster – monster yang kulihat dalam serial cerita anak – anak di TV setiap hari minggu. Aku berharap ada jagoan yang akan menolongku dan membawaku kembali ke rumah. Dalam pikiranku hanya ingin segera pulang. Aku tidak siap untuk tinggal di tempat seperti ini. Namun itu tidak akan terjadi.
Tidak terasa waktu sudah memasuki waktu isya. Aku kembali mengikuti shalat jama’ah. Seusai shalat semua santri pergi ke math’am[3]. Tapi perutku tidak merasakan lapar jadi aku memutuskan untuk kembali duduk bersandar di pintu masjid. Aku kembali merangkul kakiku sedirian. Hanya sendiri.
****
  Test untuk santri baru di mulai. Kelompok – kelompok sudah dibentuk. Beberapa tempat untuk test sudah di siapkan di beberapa sisi masjid. Masing – masing tempat dipisah dengan jarak yang tidak mengganggu kelompok lain karena suara mereka yang sedang ditest. Para penguji juga sudah siap di tempat mereka akan menguji.
Aku masih terdiam dengan merangkul kedua kakiku di pintu. Kali ini tidak hanya aku yang bersandar di pintu. Ada beberapa santri baru lain yang ikut bersandar dan santri – santri baru lain yang bertebaran sekeliling masjid menunggu giliran mereka dipanggil. Namun tetap saja aku merasa sendirian. Tidak ada satupun diantara mereka yang aku kenal. Dan tak ada keberanian untuk sekedar menanyakan nama mereka.
Ruangan masjid tiba – tiba menjadi gelap. Sepertinya mati lampu. Bukan karena konslet tapi pemutusan langsung dari PLN. Pasti berlangsung sangat lama. Kegelapan membuat suasana menyeramkan yang kurasakan semakin mencekam. Lilin – lilin dinyalakan di setiap meja tempat santri baru diuji. Melihatnya membuatku menganggap itu adalah tempat biasanya para dukun – dukun melakukan ritualnya atau seseorang yang sedang melakukan pesugihan. Khayalan – khayalan ini pasti dikarenakan dampak buruk dari acara – acara horor yang kusaksikan di televisi. Aku menoleh kesebelah kiri, seorang teman menoleh juga kehadapanku. Melihat bibirnya yang tidak normal membuatku sangat terkejut namun aku berhasil untuk menjaga diri agar tidak melakukan sesuatu karena takut orang itu tersinggung. Namun aku segera bergerak perlahan ke dalam masjid. Sialnya dari dalam masjid pandanganku menjadi terarah ke pintu masjid sebelah kanan yang menampilakan suasana luar masjid yang dipenuhi kebun pisang dan sebuah kuburan yang belum aku ketahui siapa. Bagiku yang sedang dalam ketakutan pemandangan itu menjadi sangat angker. Kupalingkan wajah ke arah pintu dan kutidurkan tubuhku sambil menunggu giliran namaku dipanggil uintuk test.
Setelah sekian lama menunggu akhirnya aku mendengar namaku dipanggil. Seorang ustadz bertubuh besar mempersilahkanku untuk duduk. Wajahnya masih muda tapi rambutnya sudah sedikit memutih. Ada tiga orang penguji di hadapanku. Mereka meluncurkan beberapa pertanyaan kepadaku. Tidak ada yang sulit karena hanya pertanyaan tentang diriku dan sedikit pertanyaan yang sering kutemukan dalam buku – buku tentang Islam yang sering kubaca. Namun aku agak kesulitan saat dipersilahkan untuk membaca Al’qur’an yang sudah terletak di atas mejasejak tadi. Penerangan yang hanya bersumber dari lilin membuatku harus lebih menegaskan huruf – huruf yang akan kubaca seingga membuat bacaan itu terdengar terbata – bata. Setelah membaca Al-Qur’an aku dipersilahkan kembali ke tempat semula dan tidak lama setelah itu test untuk santri baru pun selesai. Seluruh santri baru dipersilahkan kembali ke kamar masing – masing untuk istirahat.
****
  Waktu menunjukan pukul sepuluh malam. Semua santri baru sudah bersiap untuk tidur. Beberapa dari mereka masih ada yang asik berbincang dengan teman yang mereka baru kenal atau mungkin sudah sejak lama. Namun tidak ada di antara mereka yang aku kenal sehingga aku hanya bisa tidur sambil meratapi keadaanku.
Sebelah kananku ada tiga orang yang sangat asik berbincang dengan canda – canda mereka yang membuatku semakin iri. Namun tetap saja tidak ada keberanian dalam diriku untuk sekedar menanyakan nama mereka. Sampai akhirnya mereka menyapaku duluan dan memperkenalkan diri mereka.
Orang pertama berpostur tinggi kurus berambut keriting, dia bilang namanya julung – julung. Orang kedua berpostur pendek kurus berambut keriting, dia bilang namanya kakap. Dan orang ketiga berpostur pendek gemuk berambut lurus, dia bilang namanya cue. Tidak ada satupun dari ketiganya yang mempunyai nama yang jelas. Namun aku sadar itu hanyalah guyonan mereka untuk menghiburku. Aku senang meskipun aku belum mengetahui siapa mereka sebenarnya. Mereka masih saja terus bercanda dengan guyonan – guyonan yang tidak aku mengerti. Tapi setidaknya aku mengetahui kalau mereka semua datang dari daerah yang sama yaitu Poncol. Maka aku mengenal mereka dengan sebutan TRIO PONCOL.
****
  Malam semakin larut. Namun mataku masih belum bisa terpejam. Pikiranku melayang jauh membayangkan wajah ibuku. Aku sangat merindukannya meskipun baru tadi sore aku berpisah darinya. Aku kembali mengingat akan pelukan hangatnya yang terakhir ia berikan untukku.
Wajahnya terus menghantui pikiranku. Aku benar – benar tidak merasakan rasa kantuk. Yang aku rasakan hanya rasa rindu dan takut. Rindu kepada ibuku dan takut untuk menjalani hidup di tempat yang belum aku ketahui ini sendirian tanpa ada seseorang yang bisa aku jadikan tempat bersandar. Aku merasa masih terlalu dini untuk hidup mandiri seperti ini. Apa yang akan kurasakan selanjutnya pasti akan sangat berbeda dengan apa yang biasa kulakukan di hari – hari ku sebelumnya. Ini semua baru dimulai namun aku merasa sudah sangat lama.
Aku mencoba menhhilangkan rasa rindu dengan menghadirkan ilusi – ilusi ibuku yang sedang menemaniku. Aku seperti merasakan kehadirannya di sisiku dan menghangatkan tubuhku dengan pelukannya untuk mengantarkanku  ke tidur yang lelap. Aku mencoba itu semua agar aku bisa segera terlelap. Tapi ilusi tetaplah ilusi. Aku masih tetap terjaga dengan segala kekacauan hatiku.
Semakin lama kurasakan aku semakin tidak kuat untuk bertahan. Ini semua tidak seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Aku tidak tahan jika harus terus begini. Aku ingin pulang namun aku tidak tahu bagaimana caranya. Kucoba tuk terus menyemangati diriku sendiri namun selalu gagal. Aku ingin berontak. Aku ingin segera bertemu dengan keluargaku dirumah. Aku rindu rumah.
Aku hanya bisa menahan itu semua dalam hati sampai akhirnya air yang kutahan sedari tadi di mataku mengalir juga membasahi wajahku. Aku terus menangis di tengah kegelapan malam. Semua orang sudah terlelap hanya tersisa aku sendiri yang masih menangis. Hanya sendiri.
****

[1] Birkah: kolam.
[2] Ri’ayah: bagian kesiswaan. Disebut juga dengan tangan kanan pimpinan pondok karena seluruh kegiatan pesantren berpusat pada bagian ini.
[3] Mat'am: Tempat makan
Judul: Episode 3 _Hanya Sendiri_
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Aghry

Jika Anda Suka Tulisan Ini, Mohon dishare ke teman - teman juga ya agar mereka juga dapat menikmati. Berikan juga penghargaan pada tulisan ini dengan menekan tombol G+. Mohon kesan dan kritiknya juga di komentar guna memperbaiki tulisan ini. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...

0 comments:

Posting Komentar

 
;