Rabu, 31 Juli 2013

Episode 7 _I Can’t_

Dalam perjalanan ini hampir saja aku terjatuh pada suatu penyakit berbahaya,
“PUTUS ASA”.

 Episode 7
I Can’t
  Tiga bulan sudah berlalu. Dan selama itu pula aku dapat bertahan di pesantren ini. Namun aku masih saja belum terbiasa dengan kehidupan di pesantren ini. kepalaku masih belum bisa menerima pelajaran dengan mudah. Begitu pula dengan menghafal alqur’an. Untuk menghafal suatu pelajaran atau ayat quran itu butuh suatu usaha keras tanpa putus asa. Aku diajarkan oleh guru – guru disini metode menghafal yaitu dengan meneriakkan apa yang dihafal berulang – ulang. Dengan sendirinya dia akan menempel di otak kita.

  Kehidupan di pesantren yang sangat berdisiplin juga sangat menguras energy. Mungkin karena masih belum terbiasa untuk menjalani hidup seperti ini. Aku hanya berusaha bersabar untuk menjalaninya. Berdiri satu jam karena terlambat satu detik. Disabeti dengan sajadah karena khilaf memasukan satu butir nasi ke mulut sambil berdiri. Ditampari karena tempat wajib kubersihkan saat kutinggal ada seekor ayam yang meninggalkan jejak kakinya di lantai yang telah kubersihkan dan jejak itu ditemukan oleh ketua organisasi. Sungguh suatu kerasnya hidup yang harus kujalani setiap hari.
  Di tengah kerasnya hidup itu ibuku datang menjenguk. Seperti biasa ia akan selalu membawakan bermacam – macam makanan dan barang – barang yang kubutuhkan di pesantren. Jika ada barang lain yang kubutuhkan lagi akan kutulis di selembar kertas lalu ibuku akan membelikannya dan membawa ke pesantren lagi saat ia datang. Namun kali ini bukan materi yang sangat aku butuhkan. Kali ini aku sangat membutuhkan kasih sayang.
  Di kamar ibuku seperti biasa menanyakan keadaanku selama disini dan bertanya – Tanya banyak tentang aktifitas di pesantren. Terkadang ia juga menceritakan perihal kejadian yang baru terjadi di luar sana. Jauh disana juga temanku suka menitipkan salam pada ibuku. Aku akan terlihat ceria setiap ibuku bercerita. Semua rasa ridu di dada akan terlepas saat ia datang. Namun kali ini berbeda. Aku hanya terdiam tanpa ekspresi.
  Ibuku mulai sadar keadaanku. Ia mulai diam. Suasana menjadi hening. Dan tiba – tiba aku merasakan suatu kehangatan. Ia memelukku. Entah kenapa setiap aku merasakan kehangatan ini air mataku selalu memaksa untuk mengalir. Hingga aku tak kuasa air mata itupun akhirnya tumpah. Aku menangis sejadi – jadinya. Kesedihan ini melebihi saat aku pertama kali datang ke pesantren ini. Saat itu aku hanya menangis karena ketakutan. Dan hari ini aku menangis karena ketidak mampuanku untuk meneruskan tinggal di pesantren ini. otakku tak kuat menerima pelajaran disini. Batinku tersiksa. Sungguh aku tidak kuat untuk lebih dari ini.\
  Perlahan aku mulai berbicara. Kuceritakan semua yang aku rasakan selama ini sambil sesegukan. Aku menyerah untuk hidup disini. aku ingin seperti dulu. Hidup seperti layaknya teman – temanku di rumah. Bermain bersama dalam kebebasan. Bebas untuk pergi kemanapun yang aku inginkan. Aku rindu untuk kembali bermain sepak bola bersama. Berlari – lari sambil kejar – kejaran dalam tawa yang riang. Bukan terpenjara dan terkekang untuk melakukan sesuatu dan dihantui hukuman – hukuman yang menyeramkan.
Pelajaran yang memang cocok untukku juga ingin kembali kudapatkan. Belajar dengan senang hati bersama. Mempelajari pelajaran yang memang kusuka. Dan kembali menjadi juara. Aku rindu berlomba adu cepat berhitung bersama kawan – kawan SD di kelas.  Bukan menghadapi pelajaran – pelajaran yang sulit untuk dipahami apalagi untuk dihafal.
Dan satu hal yang sangat kurindukan. Kebersamaan bersama keluarga. Bercanda bersama. Tertawa bersama. Makan enak bersama. Menonton televisi bersama. Dalam suatu surga yang kami namakan rumah. Setiap hari aku bisa merasakan sedapnya masakan buatan ibuku. Dan akan selalu mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tua. Setiap ada masalah aku akan selalu ada tempat yang siap mendengarkan curahan hatiku. Tidak seperti disini yang jauh dari mereka. Makan hanya dengan nasi dan sayur yang hanya berisi kuah saja. Tidak asin maupun manis. Tertinggalkan kabar cerita dari alam luar sana. Termenung sendirian jika ada masalah. Bersabar jika tidak punya uang.
Tempat ini sungguh bukan tempatku. Berlama – lama disini hanya akan membuatku menjadi gila. Dengan suara lirih aku meminta satu hal kepada ibuku dan memohon untuk berkenan mengabulkannya. Satu pinta untuk jawaban dari semua yang telah aku rasakan di tempat ini. satu hal itu dan tidak ada yang lain, “aku ingin kembali pulang ke rumah dan tidak kembali ke tempat ini”.
Kali ini bergantian ibuku yang menangis sesegukan. Pelukannya semakin erat. Hal ini membuat air mataku semakin deras. Suasana sepi berubah menjadi suasana haru dan berlangsung cukup lama.
Beliau mulai melepaskan pelukannya. Jarinya menyikap air mata yang mengalir di pipiku. Bibirnya mulai berbicara sesuatu.
“Maafkan mama nak, tapi apa kamu yakin ingin berhenti dari pesantren ini?” Tanya ibuku.
Aku hanya terdiam. Sungguh aku berat meninggalkan sesuatu yang sudah kujalani. Tapi aku sungguh merasa tidak kuat untuk terus tinggal di tempat ini. tidak ada jawaban yang keluar dari bibirku. Diriku hanya mematung dalam kebisuan bersama kesedihan yang mendalam.
“Mama tahu apa yang kamu rasakan. Tapi mama yakin. Anak mama pasti bisa melewati semua. Karena anak mama adalah anak yang hebat.” Ucapnya lagi.
Kali ini beliau mengucapkannya dengan senyuman yang lebar. Kata – katanya sangat menyentak di dalam dada. Aku heran beliau mengatakan aku ini anak yang hebat. Aku tidak bisa apa – apa disini. Yang aku rasakan hanya kesedihan yang berkepanjangan. Tetap tinggal disini hanyalah penyiksaan diri saja.
“Kenapa kamu diam nak. Kamu tetap bersikeras untuk berhenti dari sini?” Tanya ibuku lagi.
Bibirku masih terdiam. Bukan karena diriku yang memang dasarnya pendiam, tapi karena seperti ada yang menahan bibirku untuk angkat bicara. Hatiku bergejolak melihat tatapan mata sang ibu. Kedua matanya seperti menyinarkan cahaya harapan. Sebuah harapan untuk anaknya tercinta. Sebuah harapan untuk satu – satunya anak yang dipercaya untuk tinggal di tempat seperti ini. Sebuah harapan untuk seorang anak yang merelakan dirinya untuk kehilangan kebahagiaan di luar sana dan menggantinya dengan suasana di pesantren ini.
Tapi aku tetap bersikeras untuk meninggalkan tempat ini. Aku menyerah dan merasa ini bukanlah tempat yang tepat untuk seseorang seperti diriku. Aku bukan orang yang tepat untuk menggenggam semua amanah itu. Tiga bulan lamanya aku berhasil bertahan di tempat ini. Merasakan betapa sulitnya aku menerima pelajaran disini. Merasakan begitu kerasnya disiplin yang diterapkan di tempat ini. pertama kalinya aku merasakan disabet kain sajadah. Pertama kalinya aku merasakan berdiri berjam-jam di tempat yang sangat panas. Dan satu hal yang kurasakan pertama kalinya selama ku hidup dan sulit dilupakan adalah saat wajahku ditampar ketua organisasi hanya karena seekor ayam yang tidak bertanggung jawab.
Hari ini aku memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat ini. Semua kebahagiaan yang telah hilang ingin kembali kugenggam. Bukan hal mudah untuk bisa terus bertahan di tempat ini. Entahlah bagaimana caranya mereka yang masih bertahan dapat terus tinggal disini. Sayangnya sepertinya aku tidak termasuk dari mereka.
Ibuku masih saja terdiam. Air matanya masih mengalir namun beliau selalu menutupinya. Wajahnya berbalik mengarah pada lemariku. Tangannya melipat – lipat beberapa pakaianku.
“Yasudah nak kalau itu mau kamu. Masukkan ke tas barang – barang yang ingin kamu bawa pulang. Sekarang kita datang ke rumah Abi[1] ya. Kita minta izin untuk pulang sebentar. Nanti di rumah kamu pikirkan kembali keputusan kamu itu. Jangan sedih lagi ya, mama sayang sama kamu”. Perintah ibuku sambil terus merapihkan beberapa pakaian dan memasukkannya ke tas.
Dengan sigap aku ikut membantu ibu merapihkan barang – barang. Sebentar lagi aku akan segera meninggalkan tempat ini. Inilah keputusanku.
****
Setelah semua barang – barang siap kami menuju rumah pak kiai. Beruntung beliau sedang ada di rumah. Biasanya ia sangat sulit untuk ditemui. Jika bukan karena ada keperluan di luar pasti ada banyak orang yang bertamu. Namun hari ini hanya ada aku, ibu, dan pak kiai.
Ibuku mulai menyampaikan maksud kedatangan kami. Kulihat Abi hanya tersenyum. Sementara mereka berdua asik mengobrol, aku hanya tertunduk dan membisu.
Tiba – tiba Abi memanggilku dan meyuruhku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit takut namun aku tetap menuju sebelahnya. Wajahnya teduh namun pandangannya tajam. Ia tersenyum namun tetap saja ada rasa takut dalam diriku. Tapi sedikit demi sedikit rasa takut itu berubah menjadi tenang. Sangat tenang. Dengan lembut ia merangkulku dan memberikan sebuah nasihat.
“Aghry, hidup ini seperti panas dan hujan. Keduanya akan selalu terjadi silih berganti. Tidak akan selamanya panas dan tidak selamanya akan hujan. Sudah ada waktu yang ditentukan bagi keduanya. Kegersangan akan kita rasakan saat panas dan sebaliknya kita akan merasa sejuk saat hujan turun. Begitu pula dal hidup ini. jika sekarang kamu merasa kesulitan dalam belajar, maka percayalah bahwa kemudahan akan segera datang. Yakin dan tanamkan itu dalam dirimu. Hari ini bapak izinkan kamu sejenak beristirahat di rumah. Tenangkan dirimu. Jika sudah tenang maka segeralah kembali kesini dengan semangat barumu”.
  Nasihat itu layaknya embun di pagi hari. Merasuk ke dalam sukma dan menyejukan hati yang gersang. Embun itu merembas dan menyuburkan tanah. Dari tanah itu mulai tumbuh pepohonan ridang nan hijau. Kembali menghijaukan hati yang gersang dan mengisinya dengan penuh kedamaian.
  Usai mengobrol panjang aku berpamitan untuk pulang ke rumah. Keyakinan akan keputusanku untuk berhenti menjadi goyah. Kata – kata Abi masih saja terngiang – ngiang di dalam pikiranku dan sangat meresap di dalam hati.
  Sesampainya di rumah aku merasa letih. Satu hari itu kuhabiskan dengan istirahat penuh. Tak kusangka satu hari itu aku bisa benar – benar merasakan istirahat karena sebelumnya hidupku sangatlah berdisiplin. Rasanya seperti meminum air dingin saja setelah berlari berkeliling lapangan sepak bola di tengah terik panasnya matahari. Tidak ada aktivitas yang kulakukan selain di atas kasur dalam satu hari itu kecuali untuk ke kamar mandi, shalat, dan makan.
  Keesokan harinya aku masih berdiam di rumah. Keinginanku untuk berjumpa teman – teman terurung. Aku masih memikirkan nasihat dari abi kemarin. Kata – katanya tertambat mati dalam hati.
  Dari nasihatnya itu berhasil menyadarkanku suatu hal. Kesulitanku selama ini, benarkah itu akan selamanya terjadi. Tidak, dalam hati aku menjawab. Benar yang dikatakan abi. Panas tidak akan selamanya dan akan segera berganti hujan. Boleh saja hari ini aku masih kesulitan dalam menerima pelajaran. Tapi aku yakin hal ini tidak akan lama terjadi. Seiring berjalannya waktu semua itu semua akan terbiasa aku terima. Dan aku juga akan mulai terbiasa dalam hidup berdisiplin yang sangat berbeda jika aku tinggal di rumah. Semua itu hanya perlu kesabaran.
Ya benar, ini semua hanya butuh kesabaran.
Kemarin aku terlalu cepat berputus asa sehingga aku mengambil sebuah keputusan yang salah. Terlalu cepat jika harus menyerah. Ini semua belum berakhir. Bersabar dan pantang menyerah. Itulah yang harus aku lakukan di pesantren nanti. Hidup ini memang keras dan harus kita hadapi. Karena tidak akan selamanya hidup ini akan keras. Akan ada waktunya nanti saat hujan harus turun. Selalu ikhlas dalam menjalani yang ada. Bukan dengan suatu keterpaksaan. Serta selalu berjiwa pantang menyerah. Keputusanku berubah. I muss let back to school.
  Esok harinya aku kembali berkemas untuk kembali ke pesantren. Orang tuaku sumringah melihat tingkahku. Apapun yang kulakukan mereka selalu mendukung dan bangga. Kedua orang tuaku memang orang tua nomor satu di dunia.
  Hari itu aku mulai kembali menjalani hidup di pondok. Dengan segala kesadaran dan tentunya dengan semangat baru yang membara. Episode baru dalam menjalani hidup di pesantren ini baru saja dimulai.
****
   

[1] Ibuku biasa memanggil pak kiai dengan panggilan Abi.
Judul: Episode 7 _I Can’t_
Rating: 10 out of 10 based on 24 ratings. 5 user reviews.
Ditulis Oleh Aghry

Jika Anda Suka Tulisan Ini, Mohon dishare ke teman - teman juga ya agar mereka juga dapat menikmati. Berikan juga penghargaan pada tulisan ini dengan menekan tombol G+. Mohon kesan dan kritiknya juga di komentar guna memperbaiki tulisan ini. Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...

2 comments:

Firman mengatakan...

nice trully story

Aghry mengatakan...

Hehe, Makasih Penilainnya ^_^

Posting Komentar

 
;